Feeds:
Posts
Comments

200px-TropaDeElitePosterI am an action film fan. I like violent in film; of course you have a lot of different stages of violent, from a B-movie excessive no-brainer violent to beautifully choreographed, a la John Woo violent. This film from Brazil, The Elite Squad, or Tropa de Elite, a 2007 Brazilian movie by director José Padilha is actually not very violent in the sense of the audience get to see a lot of blood.

But in this movie, violent was packed in a very realist way. You know these stuffs in the movie did happen in Rio de Janeiro. It’s a portrait of everyday life in Brazil at that time: armed Gangster (not small arms, assault rifle ones!) selling drugs and party in slumps, (very) corrupt police force, not unlike what we are experiencing ourselves in many developing countries, and frustated by the systems good cops, who decided to use vigilante art of war against the “bad guys” (crooked cops and gangster alike).

The story is so real it was mesmerizing. One team leader from the Elite squad BOPE, a special unit of the Militray Police in Brazil, was looking for replacement. He have been fighting crime at the cost of his relationship with his wife. Cliche I know, but quite different here.

He would then choose between two idealist police newcomers who was frustated by the corruption in their police force. The process showed also the BOPE selection and training camp, which is quite amusing for Army-fan among us 🙂

This is not a Bad Boy film kind of police film, this is about how one man can change the way his society  is (falsely) working. And the men portrayed here choose then the violent path, officially sanctioned vigilante.

Right or wrong is not the issue here. It is a life and social question.

So I welcome this movie as one of the amazing action film I have watched in recent monts.

By the way, you can read more about the BOPE here:

http://en.wikipedia.org/wiki/BOPE

222555_631932720_kiqplbtrAfter some quite negative reviews, let me push a nice smiling one. Sekali ini kita main-main dengan Anime, sebuah film dari tahun 2007 yang baru saya dapatkan kemarin. Film ini sepertinya tidak diputar di bioskop dan memang rada “susah” dicari, tapi bagi pecinta anime dan samurai film pasti tidak akan mengecewakan. Omong-omong memang jarang yah Anime di putar di bioskop kita, maybe Blitz bisa mulai lebih sering menampilkan Anime? Logikanya kalo film-film animasi 2D lalu 3D Disney saja laku keras di bioskop, masak Anime bisa ngga?

Film ini menceritakan tentang seorang anak kecil bernama Kotaro yang dikejar-kejar oleh serombongan pendekar dari negeri Ming Cina, dan penguasa benteng di salah satu provinsi Jepang di jaman Sengoku Jidai (abad 15 sampai awal abad 17 M). Dalam perjalanannya Kotaro dengan anjingnya Tobimaru dibantu oleh seorang samurai misterius tanpa nama yang disebut “Nanashi”. Samurai ini telah bersumpah untuk tidak lagi menggunakan pedangnya untuk membunuh. Oh yah, lucunya musuh terhebatnya dalam film ini ceritanya adalah seorang bule! bermata biru bernama Rarou yang merupakan salah satu pemimpin pendekar Ming.

Plot cerita yang ditampilkan sebenarnya sederhana, tetapi gaya penceritaannya manis dan secara visual film ini sangat baik. Adegan cepat seperti berkuda dan pertarungan ditampilkan dengan menawan meski sering cukup brutal dan banyak darah (not suitable for children?). Visual yang menarik juga adalah beberapa adegan ditampilkan dari sudut pandang orang pertama seperti First Person Shooter game. Gabungan antara animasi 2D dan 3D dalam film ini dibuat begitu seamless sehingga kita jadi sulit membedakannya.

Bagi pecinta film Samurai atau Manga Samurai, mungkin melihat kesamaan cerita di sini dengan Manga th 70an (yang telah difilmkan juga) yaitu Lone Wolf and Cub dengan Itto Ogami bersama anak balitanya Daigoro. Tetapi cerita dalam film ini lumayan riil juga untuk melupakan kesamaan tersebut.

If you are an anime fan, find this film.

If you are a samurai film fan, find this film.

It will be a very nice experience.

startrekposterEnough lah for the negative review yah. Let’s think positively now.

Let me write about one movie, in which I put great expectations. STAR TREK, the reboot version, coming May 2009. Sebentar lagi. Saya sudah download comic prequelnya (4 jilid) di iPhone saya. Saya sudah men-download semua Trailernya dari Apple Trailers. Saya terharu saat membaca cerita mengenai sneak preview kejutan di Austin yang dihadiri oleh Spock, er sorry, Leonard Nimoy sendiri. Saat ini saya tak sabar menunggu film ini main di Jakarta!

Semua review sampai saat ini rata-rata memuji film ini. JJ Abrams, yang sebelumnya telah membesarkan Alias dan Lost, kini berhasil mengguncang dan mengembalikan excitement pada franchise Star Trek ini. Kekhawatiran para fans sebagian besar telah luluh, at least yang beruntung telah menonton duluan. Banyak yang menyatakan ini film Star Trek layar lebar paling menegangkan sejak Star Trek II: The Wrath of Khan (1982).

Catatan kecil untuk parade pemerannya, saya lumayan suka dengan Zachary Quinto sebagai Sylar, tetapi saya benar-benar bakal nge-fan dengan dia sebagai Spock muda! He was born for this role!

Ya, saya punya harapan yang tinggi pada film ini, semoga reviewnya nanti benar-benar seperti yang diharapkan.

I hate it when I have to give negative reviews, tapi memang akhir-akhir ini film-film yang ditonton rata-rata kurang memuaskan yah? Terakhir sejak Dark Knight tahun lalu, saya belum lagi merasaka405px-knowingposter08n suatu excitement dan thrill di film-film bioskop baru. Saat mau nonton Knowing ini, saya jujur memiliki ekspektasi yang lumayan. Hal ini terutama disebabkan oleh trailernya juga yah, plot yang ditawarkan terasa menarik.

Sebenarnya film ini menawarkan banyak adegan-adegan yang dibuat dengan craftmanship tinggi, dengan bantuan CG terakhir, sang sutradara, Alex Proyas, berhasil menampilkan adegan 5 menit pertama yang benar-benar horor, juga adegan kecelakaan pesawat dan sesudahnya serta adegan kecelakaan kereta apinya benar-benar terlihat brutal dan tanpa kompromi. Adegan bencana terakhir mengingatkan kepada berbagai film kiamat lainnya ala Terminator tetapi tetap patut diacungkan jempol.

SPOILER ALERT!!

Sayang semua ini hanya menjadi pelipur atas cerita yang terlalu “digampangkan”. Promise akan plot yang menegangkan jadi hilang sejak munculnya beberapa oknum, yang jelas-jelas predictable merupakan alien. Saya menyayangkan sekali Alex Proyas, yang berhasil mengusung berbagai film “action pintar” seperti The Crow (1994), Dark City (1998), dan yang paling terkenal mungkin I, Robot (2004 dengan Will Smith), dalam film ini seperti menggampangkan ceritanya. Solusi atas misterinya begitu gampang, begitu jelas. Ayolah Alex, menggunakan alien seperti itu sebagai jawaban atas misteri yang dibangun begitu menyeramkan seperti menyapu dan menaruh kotoran di dalam karpet. Hanya mencari jalan pintas saja.

Visual yang begitu memukau menjadi pudar dengan cerita yang “digampangkan” begini. Film ini bukanlah film yang jelek. By far saya masih lebih puas melihatnya dibandingkan Dragonball Evolution kemarin. Dan rekan-rekan sekerja yang ikut juga bingung mengkategorikan ini film bagus atau jelek. Decide yourself.

PS: Mungkin akan lebih baik dan menegangkan apabila semua plot alien baru dimunculkan jauh di akhir cerita yah? Mungkin.

Dragonball Evolution Poster

I went to this movie knowingly that it would not be good. But I am bringing my 5 years old Daughter, and there was only this one choice for her 😦

I read about Dragonball fans screaming for blood after seeing the movie, so how bad is it gonna be?

Ternyata memang yahh jelek… Apabila film ini judulnya lain, misalnya “Bule Boy learning to use Ki against Alien” mungkin film ini okay lah untuk entertainment, lumayanlah untuk ngajak anak-anak (walau ternyata tetap saja berat buat anak umur 5th yah).  Jadi seperti film The Forbidden Kingdomnya Jet Li (2008), yang mereka-ulang legenda Sun Go Kong, ngga bagus, tapi lumayanlah buat hiburan anak-anak.

Tapi ini beda, berhubung film ini membawa nama besar (its a huge franchise all around the world lho!) DRAGONBALL, kita tentunya membawa banyak imej dari manga dan film kartunnya menonton film  ini, sedikit banyak tentunya jadi membandingkan dan prejudice. Dan ini semua menjadikan penilaian negatif meskipun harus diakui sangat subyektif.

Saya setuju dengan keluhan beberapa kritisi bahwa Chow Yun Fat terlihat “over-acting” di sini. Apalagi bila para penonton dari belahan barat sana, kurang terbiasa melihat Chow Yun Fat dalam komedi. Film-filmnya sejak di Replacement Killer hingga Bulletproof Monk, juga film asia nya Curse of The Golden Flower semuanya menampilkan Chow yang tegas, berwibawa dan jelas-jelas tidak melucu. Sehingga mungkin terasa aneh bagi mereka melihat Chow tiba-tiba jadi begini.

Bagi kita yang memang fans Hong Kong Cinema, mungkin tidak terlalu aneh dengan actingnya seperti ini, saya malah jadi teringat saat-saat dulu dia sering tampil konyol, misalnya pada film komedi Diary of a Big Man, Once a Thief, dan film yang membuat saya menjadi fan seumur hidupnya: God of Gambler. Terutama di terakhir Chow bisa dengan segar memainkan karakter yang tegas tapi bisa juga tampil blo’on.

Mungkin kendala bahasa inggris menjadi kan acting komedinya rada aneh yah?

Anyway, pesannya: film ini bukan untuk Fans Sejati Dragonball, kalo mau nonton ini, jangan dianggap film Dragonball deh, at least dengan demikian lebih bisa enjoy.

hard_boiled_dvd_front_353Sambil nunggu Chow Yun Fat tampil di film live action Dragon Ball, mari kita ulas salah satu film terbaiknya, at least bagi saya :-). Jauh sebelum sekarang lazim dilihat dalam berbagai film action Hollywood, dari Matrix sampai Punisher: War Zone, two guns action mulai dipopulerkan oleh John Woo dan Chow Yun Fat, aktor favoritnya, di era tahun 80an terutama lewat rangkaian film A Better Tomorrow (di Indonesia diberi judul Gangland Boss).

Bagi banyak orang film action terbaik John Woo di era Hong Kongnya adalah The Killer (1989 dengan Chow Yun Fat dan Sally Yeh), tapi bagi saya film terbaiknya di Hong Kong adalah Hard Boiled (1992). Ini merupakan kolaborasi terakhir John Woo dan  Chow Yun Fat saat itu (pra Hollywood), sehingga mereka berdua all-out dalam adegan-adegan action film ini. Duet mereka ini mengingatkan akan duet Akira Kurosawa dan Toshiro Mifune, yang saling mendukung satu sama lain, untunglah perpisahan mereka diakhiri dengan suatu hit yang lumayan sukses dan di banyak pecinta fil action Hong Kong menempati posisi khusus. Film ini juga didukung oleh Tony Leung yang mampu menyaingi Chow Yun Fat dengan gayanya yang kalem (yang kini seperti menjadi “trade mark”nya dalam Red Cliff, 2046, dan In The Mood for Love).

Dalam film ini, Chow Yun Fat berperan sebagai seorang polisi bernama Tequila, seorang Dirty Harry ala Hong Kong, jago tembak dan selalu membuat pusing atasannya. Tony Leung berperan sebagai seorang polisi dalam penyamaran (dengan atasan yang sama), yang ditampilkan benci membunuh tetapi harus sering membunuh sebagai anggota Triad (mafia Hong Kong) yang terlibat persaingan dalam menjual senjata api. Karakter Tony membuat origami bangau setiap kali ia membunuh seseorang sebagai tanda penyesalannya.

Film ini full packed with action, bahkan sejak lima menit pertama, kita sudah disuguhi dengan adegan tembak-menembak yang dibuat sangat piawai di rumah minum teh. Sisi dramanya jadi sedikit kurang terpoles atau menjadi rada kurang menonjol karena padat dan sempurnanya actionnya, tetapi John Woo berhasil memasukkan beberapa sentuhan menarik.

Misalnya saat Tony Leung dipaksa tokoh Antagonis utama untuk menghabisi Boss nya dan semua anak buahnya, dramanya lumayan terbangun baik dan ini merupakan highlight bagi Tony Leung, saat menembak dengan mata berkaca-kaca. Sentuhan lain yang manis adalah bahwa jago tembak utama (bermata satu) sang tokoh Antagonis nya adalah seorang bandit yang kejam, metodologis, cool, tapi gentleman, saat adegan duel klimaks dengan pistol bersama Chow Yun Fat, mereka berdua meletakkan senjata dan melakukan “gencatan senjata” agar pasien-pasien yang terjebak dalam pertarungan mereka bisa mengungsi (action klimaks berlokasi di sebuah rumah sakit). Ia juga menolak untuk menembaki pasien saat diperintahkan oleh Bossnya (yang berakibat fatal bagi dirinya sendiri).

Bagi yang capek melihat action film Hollywood yang begitu-begitu saja, cobalah bernostalgia kembali dengan film ini, dan saya yakin Anda tetap akan puas, seperti kembali ke kampung halaman dan mencicipi kembali makanan kedai favorit Anda 😉

Oh yah, Hard Boiled di Indonesia dulu dipasarkan dengan judul Master Gunman.

200px-seven_pounds_posterSetelah Slumdog Millionaire, saya dan keluarga ingin mencari hiburan yang lebih ringan…. yang tidak bikin sedih, mungkin drama ringan seperti A Good Year (2006 oleh Ridley Scott dengan Russel Crowe dan Marion Cotillard). Tapi sayangnya saat ini belum ada kayaknya yah yang seperti itu, jadi pilihan jatuh pada Seven Pounds (SP), film teranyar dari Will Smith.

Will Smith sepertinya ingin mengulangi sukses dramanya setelah drama kisah nyata The Pursuit of Happyness (2006). Ia kembali menunjukkan bahwa ia pun bisa berakting dalam drama serius, non action comedy ala Bad Boys atau Hancock atau Independence Day.

Seven Pounds bercerita tentang kebaikan, tentang seseorang yang ingin “menebus dosa”nya. Will Smith hadir sebagai seorang Rocket Engineer lulusan MIT yang mencuri identitas IRS (Petugas Pajak) adiknya untuk mencari orang-orang yang dapat dibantunya. I dont want to spoil you the film, so I will stop here.

Bagi banyak orang, film ini sayangnya akan terasa lamban dan penuh pertanyaan, terutama di satu jam pertama film ini. Makin lama kita makin menyadari apa yang sedang dilakukan tokoh Will Smith (Tim menyamar sebagai Ben, adiknya). Oh yah, kita mulai bisa membayangkan akhir dari film ini begitu kita lebih mengenal masalah dari tokoh Rosario Dawson.

This film is not necessarily a romantic film. Plot ceritanya sebenarnya sangat sederhana begitu penonton menyadari kronologis peristiwa yang terjadi. Bukan hiburan sejenis yang kami cari sih – ceritanya tidak memiliki banyak kurva tegang dan haru seperti The Pursuit of Happyness.

Akhir-akhir ini memang jarang film ringan yang “make us feel good” sesudahnya yah. Seven Pounds bukan salah satunya. Untungnya film ini didukung oleh berbagai pemeran yang menaikkan kualitas film ini, Rosario Dawson sebagai peran utama wanita, Woody Harrelson sebagai seorang pianis buta, Barry Pepper sebagai teman Tim/Ben, dan Connor Cruise (putra angkat Tom Cruise dan Nicole Kidman) sebagai Tim kecil.

Oh yah, bagi yang bingung sesudah menonton, kok kayaknya judulnya ngga nyambung: Judul film ini mengacu pada drama Shakespeare yang terkenal, The Merchant of Venice (juga sudah difilmkan tahun 2004 dengan Al Pacino). Dalam film itu Antonio, dituntut untuk membayar hutangnya dengan dagingnya. Dalam film ini, Seven Pounds (7 pon, setara dengan 3,5 KG) adalah jumlah yang “dibayar” oleh Will Smith untuk menebus “hutang”nya.

Just Kidding: Moral terpenting film ini adalah: Jangan membaca dan membalas Blackberry Anda sambil menyetir mobil!!

Enjoy this not so light film!

200px-inglourious_basterds_poster2Saya suka sekali dengan Quentin Tarantino, dan temannya Roberto Rodriguez. His best film for me is Pulp Fiction, his best action is naturally Kill Bill 1 and 2. Sekarang, bayangkan Quentin Tarantino sedang finishing sebuah film action bertema World War II. Ngga kebayang kan? Saya menunggu surprise ala Tarantino. 

Ensemble keren dengan Brad Pitt (yang lehernya ada bekas gantungan) yang kembali bermain dengan Diane Kruger (si cantik Helen dari Troy), Eli Roth sebagai psikopat dengan baseball bat, lalu ada Til Schweiger! Mungkin di Indo, Til Schweiger ini kurang dikenal, tapi di negara asalnya, Jerman, dia termasuk bintang terkenal dengan nada suara yang khas. Dalam film The Red Baron (2008) dia berperan sebagai Werner Voss. Oh yah, ada Maggie Cheung! Ngga aneh sih karena Tarantino memang fan berat film aksi asia terutama Hongkong. Ada lagi sang komedian Mike Myers, dan narasi oleh Samuel L. Jackson.

Ceritanya Brad Pitt memimpin sekelompok tentara Jewish-American yang disebut Basterds untuk membunuhi para Nazi di Perancis yang sedang dijajah Jerman-NAZI. 

Rencananya film ini akan dirilis Agustus 2009.

I can’t wait for this movie. What will we get from Tarantino?

Let us pray, and wait, and pray again, for the first world war II movie with Tarantino bloody sauce!!

200px-body_of_lies_posterBody of Lies (BoL) merupakan film spy (tentang CIA) yang dibuat dengan expertise Ridley Scott yang tinggi dalam menampilkan film yang enak ditonton, dengan materi dari Novel karangan David Ignatius yang lumayan kompleks. Tapi sayang film ini belum masuk dalam daftar film spy terbaik pribadi saya; oh yah, film spy terbaik bagi saya masih Three Days of The Condor (1975, Sutradara Sydney Pollack, pemeran utama Robert Redford), dari sisi twist cerita dan thrill-nya saat kita menonton.

Spoilers alert!! Jangan baca paragraf berikut bila Anda tidak ingin filmnya menjadi spoiled  bagi Anda 🙂

Kembali ke BoL, secara keseluruhan cerita yang ditampilkan menarik, bahkan romantisme antara Roger Ferris (Leonardo de Caprio), sang agen CIA dengan Aisha (Golshifteh Farahani) dibuat tidak “murahan” oleh Ridley Scott. Sayang beberapa klimaks dalam film dibuat begitu simplistik. Beberapa twist dalam film sudah bisa ditebak, bahwa Aisha akan menjadi “umpan” bagi Ferris, bahwa kita menebak Ferris pasti akan diselamatkan in the nick of time, dan kemungkinan besar penyelamatnya adalah Hani (Mark Strong), sang kepala Intelijen Yordania. How come every other non-american die easily one after another, but the sole CIA Agent survive all these?

Lalu peristiwa penangkapan tokoh antagonis utamanya begitu sederhana, apakah sedemikian mudah mereka bisa menangkap sang tokoh?  Ini lumayan mengganggu, at least American cinema could give their country’s enemy the respect and credits of being not easy to be caught in the real life.

Spoiler alert ends.

Terakhir yang saya sayangkan adalah peranan Russel Crowe sebagai Ed Hoffman dalam film ini terasa kurang tergali, he was just being an a-hole, selfish egomaniac, but then what? Tidak ada peranan significant yang mengubah sesuatu dalam plot cerita sehingga dia bahkan bisa ditampilkan sebagai tokoh yang ada dalam cerita tapi tak perlu ditampilkan di layar. It was such a waste of Crowe’s talent.

Film ini adalah film yang enak ditonton sebagai hiburan, jalur ceritanya lumayan linear dan fokus pada seseorang,  tidak serumit dan berlapis-lapis seperti Syriana (2005, film CIA juga dengan George Clooney dan Matt Damon). Tapi jangan mengharapkan terlalu banyak. Just sit and enjoy it as an ordinary spy movie.

200px-slumdog_millionaire_posterdaun_di_atas_bantalJauh sebelum gegap gempita Slumdog Millionaire (SM), sebenarnya Indonesia telah memiliki Daun di Atas Bantal (DdAB) oleh Mas Garin. Dan saat saya dan istri menonton SM, kami sontak langsung ingat pada DdAB yang juga kami tonton bersama satu dekade yang lalu.

Mau membandingkan SM dengan DdAB, atau Oom Dyle VS Mas Garin? Itu bukan tema tulisan ini kok, tapi saya benar-benar terpancing untuk men-sandingkan kedua film ini.

Mumbay (dulu kita kenal sebagai Bombay kan?) dalam SM, bukankah sangat mengingatkan kita dengan Jakarta? Saya yakin cerita Jamal, Salim, dan Latika akan bisa kita temukan di berbagai kolong jembatan ibukota. Mas Garin menampilkan secuplik kisah serupa, meskipun di Yogyakarta, mungkin karena sebagai kontras atas Yogya sebagai basis kultur penting di Jawa? Itu hanya spekulasi saya, tapi tema yang dibawakan memiliki kesamaan yang khas.

Yang pasti saat menonton kedua film tersebut, perasaan jadi terasa down, sedih. Bahkan banyak penonton yang berkaca-kaca, misalnya saat Jamal bertemu dengan temannya yang masih menjadi pengemis buta dan menceritakan tentang Benjamin Franklin pada uang 100 Dollar Amerika.

Tetapi, kami berdua ingat sekali bahwa perasaan kami lebih sedih sesudah menonton DdAB, karena Mas Garin, dan Mbak Christine Hakim (yang juga producer filmnya) menampilkan suasananya dengan penuh ketelanjangan brutal kejamnya kehidupan. Doyle, mungkin dengan perhitungan bisnis dan selera penonton barat, membungkus kisahnya dengan Cinderella story dan romansa lost love found, dengan akhir yang Happy End, dengan kemenangan tokohnya atas kejamnya kehidupan. Ini suatu yang sangat membedakan perasaan kita saat menontonnya.

Satu persamaan kedua film ini adalah menggunakan pemeran cilik yang memang berasal dari kalangan anak jalanan. Kita tahu bagaimana pemeran Jamal dan Salim bahkan diajak ke Oscar, juga mereka mendapatkan semacam trust fund untuk masa depan mereka. Saya jadi tertarik bagaimana dengan pemeran cilik di film DdAB yah? Bukankah mereka sekarang sudah jadi pemuda-pemuda? Di manakah mereka?

Salute buat Oom Doyle dan Mas Garin yang membawa secuplik kisah dari bawah ini dengan gaya mereka masing-masing.

Salute for humanity.